Benang Merah

Aku masih berdiri ditempat yang sama.
Memandang ke tempat terakhir punggungmu yang menghilang.
Kupikir inilah hari yang kamu janjikan kala itu.
Ternyata aku salah, kamu masih belum saja datang menemuiku.

Hari ini adalah hari ketujuh, pukul tujuh lewat tujuh menit malam hari.
Aku masih memandangi jendela yang menghadap rembulan.
Jendela yang sama saat terakhir kali kamu melambaikan tangan.
Masih dengan harapan yang sama seperti hari kemarin, untuk kembali bertemu denganmu lagi.

Takdir itu membawa mu kepadaku.
Yang sedang berkencan dengan kesendirian.
Berteman dengan kehampaan.
Bergandengan tangan dengan kesedihan.

Mungkin kamu juga begitu?
Sama sepertiku yang berdiri diujung tebing keputusasaan.
Ataukah hanya aku yang begitu?
Diambang oleh maut kehidupan.

Aku masih tetap disini, hidup dibumi yang kamu yakini.
Memakai baju dengan warna yang kamu sukai.
Mendengar lagu yang tidak kamu mengerti.
Namun batang hidungmu jua masih tak tampak dibola mata.

Apakah kini kamu tersesat?
Lupa arah timur dan utara.
Ataukah semesta yang membawamu pergi menjauh dariku?
Memutuskan benang merah yang dirajutnya dengan peluh.

Tak mengapa, tak perlu berlari untuk menghampiriku.
Cukup melangkah dan menemukanku lagi.
Jika itu pun sulit bagimu, maka merangkaklah perlahan.
Tak mengapa jika sedikit terlambat, asal kamu bisa memelukku kembali seperti dulu.

Aku masih berdiri ditempat yang sama.
Dengan segenggam bunga menunggumu kembali walau tanpa keyakinan seperti dahulu.
Sebab hal itu tidak mengubah apapun jua.
Tentang siapa dirimu di mataku pun siapa aku di hidupmu.

Tidak perlu diperdebatkan.
Cukup diabaikan.
Seperti layaknya kamu mengabaikan janjimu padaku.
Untuk kembali datang menemuiku.

Komentar

Postingan Populer